Akhlak

Menjauh dari Ibu Bapak

Seorang pakar pendidikan menyatakan bahwa, “Kendati saya mengetahui banyak teori pendidikan, namun saya tak mampu menerapkannya pada anak saya.”

Pandangan ini diiyakan oleh banyak pendidik; kenyataan pun menunjukkan bahwa tidak sedikit anak pendidik yang tidak terdidik dengan baik.

Cinta ibu bapak kepada anak adalah naluri manusia. Sayang bahwa cinta itulah–bila tidak diberikan dalam porsi yang dibutuhkan atau tidak diaktualkan sesuai dengan perkembangan, potensi, dan kecenderungan anak, maka ia dapat menjerumuskannya. Ini tidak kurang dampak negatifnya daripada “benci”.

Ibu bapak sering kali sedemikian cinta pada anaknya sehingga mengikuti kemauan sang anak walau bukan pada tempatnya atau demikian takut terhadapnya sehingga sedikit saja sang anak melangkah untuk mencoba sesuatu yang baru, sang ibu atau ayah mewanti-wanti atau melarangnya sehingga bakatnya pudar dan keberaniannya menurun.

Ada hal yang menarik pada monyet yang dapat ditiru oleh manusia. Ibu monyet membiarkan anaknya bergelantungan, tetapi begitu sang anak merasa takut dia berlari bergantung pada ibunya dan sang ibu menyambut serta melindungi anaknya. Namun bila anak monyet itu telah menanjak menuju usia remaja maka sang ibu mengusirnya agar menjauh darinya. Dia mengusirnya pergi bermain dengan sebayanya, bahkan memukulnya jika dia kembali. Ini dilakukan ibu untuk membiasakan anak monyet itu hidup mandiri dan mencari sendiri perlindungan tanpa mengandalkan pihak lain.

Nah, begitu pulalah seharusnya ibu bapak manusia. Tidak menjadikan anaknya terus-menerus bergantung padanya, tetapi melepaskannya sambil mengawasinya dari jauh tanpa menghilangkan kasih sayangnya.

Seorang  anak manusia yang tidak mendapat kasih sayang di masa kecilnya dan tidak juga dibiasakan mandiri pada saatnya, maka di tengah masyarakat dia tidak dapat mandiri. Dia tidak memiliki keberanian untuk menjalin hubungan dengan selainnya dan akan selalu bergantung pada orang lain.

Dia takut menghadapi yang baru karena biasanya sesuatu yang baru atau yang tidak diketahui  mengandung risiko sehingga mencemaskan/menakutkan, sedang yang bersangkutan tidak terbiasa takut, dan ini pada gilirannya menjadikan aktivitasnya hanya terbatas pada kebiasaan yang terulang-ulang. Karena yang terulang-ulang itu saja yang dia rasakan tanpa risiko, hanya itu yang menenangkannya. Dia enggan  memikul beban yang dikira belum sesuai dengan kemampuannya.

Dari sinilah, karena kesadaran ibu bapak dan kesulitan yang mereka hadapi dalam mendidik anak, maka tidak sedikit di antara mereka yang merasa perlu untuk mengantar anaknya pergi menjauh beberapa saat lamanya-katakanlah ke pesantren-sehingga dapat belajar dan dididik oleh tangan lain yang tepercaya.

Dalam literatur sastra dan pendidikan ditemukan sekian anjuran untuk berpergian, jauh meninggalkan sanak keluarga sambil meyakinkan bahwa ada “ganti” untuk yang ditinggal. Bahkan kitab suci al-Qur’an menganjurkan untuk berpergian meninggalkan tempat tinggal guna menambah pengetahuan dan memperluas wawasan (QS. at-Taubah [9]: 122).

Kenyataan bahwa ibu bapak dan lingkungan dapat memengaruhi kepribadian anak dan bahwa menjauh untuk beberapa waktu dari mereka dapat  berdampak positif, itulah agaknya yang   menjadikan Allah “mengatur” sehingga Nabi Muhammmad saw. sebelum kelahirannya dijauhkan dari sang ayah dengan mewafatkannya. Sang ibu diatur-Nya untuk ditinggalkan oleh sosok yang ternyata menjadi nabi terakhir itu menuju pedesaan agar kepribadian beliau tidak dibentuk oleh ibu kandung. Allah mendidik Rasul-Nya secara langsung dan menjauhkan beliau dari segala faktor yang dapat berdampak negatif agar kepribadian beliau tumbuh berkembang sesuai yang direncanakan Allah. Demikian, wa Allâh A’lam.