Selamat Natal yang diucapkan seorang Muslim kepada penganut agama Kristen dianggap haram oleh sementara orang dan dinilai sesat dan menyesatkan siapa yang membolehkannya. Itu yang biasa terdengar di Indonesia, tetapi tidak demikian di kalangan ulama di Timur Tengah. Berikut tulisan ulama besar Suriah Mustafa az-Zarqa’ yang termuat dalam kumpulan fatwanya “Fatwa Mustafa az-Zarqa”. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed Ahmad Makky dan diantar oleh ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf al-Qardhawy. Al-Qardhawy mengakui az-Zarqa’ sebagai gurunya dan merasa bangga menulis pengantar tentang kumpulan fatwa itu.
Fatwa ini adalah jawaban az-Zarqa’ kepada Anas Muhammad ash-Shabbagh yang bermukim di Saudi Arabia. Terjemahannya sebagai berikut:
“Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang diucapkan seorang Muslim berkaitan dengan kelahiran Isa (Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka menurut hemat saya: Ucapan Selamat Natal seorang Muslim kepada kenalannya yang menganut agama Nasrani termasuk dalam anjuran berbudi baik dalam interaksi dengan mereka. Sungguh Islam tidak melarang kita menyangkut harmonisasi hubungan beragama dan perlakuan baik semacam ini terhadap mereka, apalagi yang mulia al-Masih dalam pandangan aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah yang agung dan termasuk satu dari lima Nabi yang amat diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan selamat kepada mereka pada hari kelahiran Isa as. haram—siapa yang menduga demikian—maka dia salah karena tidak ada hubungan dalam ucapan itu dengan rincian aqidah kaum Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa as.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada jenazah seorang Yahudi yang diusung di hadapan Nabi saw., maka beliau berdiri. Berdirinya beliau itu merupakan ekspresi dari rasa agung dan dahsyat terhadap kematian—tidak ada hubungannya dengan aqidah sosok Yahudi yang mati itu.
Muslim dituntut untuk menggambarkan kebaikan Islam dan moderasinya terhadap Non-Muslim. Di samping itu, keadaan kaum Muslim dewasa ini yang sungguh lemah di antara negara-negara di dunia ini serta konspirasi dan tuduhan bahwa kaum Muslim adalah teroris, fanatik, dan lain-lain—kesemuanya menuntut kaum Muslim mengubah image buruk itu, apalagi pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki teman-teman yang mengucapkan selamat kepadanya, sehingga bila ia tidak membalas sikap baik mereka itu dengan berkunjung kepada yang berkunjung kepadanya pada Hari Lebaran, maka sikap itu akan semakin mendukung tuduhan yang ditujukan kepada kaum Muslim,” demikian antara lain Mustafa az-Zarqa’.
Saling mengucapkan selamat, bahkan kunjung-mengunjungi itulah yang dilakukan juga oleh pimpinan al-Azhar Mesir. Apakah mereka salah dan sesat? Saya menduga keras bahwa ulama-ulama itu jauh lebih mengerti agama dan lebih bijaksana daripada mereka yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, apalagi menyesatkan siapa yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal itu. Semoga hidayah Allah tercurah kepada kita semua.
***
Berikut ini jawaban penulis atas pertanyaan seputar ucapan selamat Natal, dikutip dari rubrik Qur’an & Answers di www.alifmagz.com:
Ada hadits- antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”
Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syâfi‘î tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbâs. Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh ‘Alqamah dan al-Auza‘i.
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhârî dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu ‘Umar, yang menyampaikan sabda Nabi bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalâmu‘alaikum,” tetapi “Assâmu‘alaikum,” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda”.
Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “‘Alaikum,” sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan itu).”
Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Îsâ: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.
Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlâs.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan”.
Ucapan selamat atas kelahiran ‘Îsâ (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap ‘Îsâ al-Masîh berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masîh, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan ‘Îsâ, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nûh, Ibrâhîm, Mûsâ, Hârûn, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk ‘Îsâ as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) ‘Îsâ as.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Mûsâ dari gangguan Fir‘aun dengan berpuasa ‘Âsyûra’, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Mûsâ (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhârî, Muslim, dan Abû Dâwûd, melalui Ibnu ‘Abbâs—lihat Majma’ al-Fawâ’id, hadits ke-2.981).
Bukankah “Para nabi,” sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., “bersaudara, hanya ibunya yang berbeda?” Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al- Qur’an sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu?
Itulah, antara lain, alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al- Qur’an dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula.
Sahabat Nabi, Anas bin Mâlik, menyampaikan bahwa seorang anak Abû Thalhah sedang sakit ketika Abû Thalhah harus keluar rumah. Saat kepergiannya itu, sang anak meninggal dunia. Ketika Abû Thalhah kembali dia bertanya kepada istrinya tentang keadaan sang anak. Istrinya (yang rupanya enggan kepada suaminya dengan berita sedih yang sifatnya dadakan) menjawab, “Dia dalam keadaan yang setenang-tenangnya.”
Tenteramlah hati suami mendengar hal itu, karena dia menduga bahwa anaknya sedang tidur nyenyak, padahal ketenangan yang dimaksud sang ibu adalah kematian. Bukankah kematian bagi seorang anak yang sakit merupakan ketenangan? Ketika Abû Thalhah mengetahui keadaan sebenarnya, dia melaporkan kepada Nabi saw. Beliau bertanya, “Apakah semalam kalian berhubungan seks?”
Pertanyaan ini diiyakan oleh Abû Thalhah. Nabi pun lalu mendoakan suami-istri itu. Begitu diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim (lihat Riyâdh ash-Shâlihîn karya an-Nawâwî, hadits ke-44). Terlihat di atas, bagaimana Nabi membenarkan atau tidak menegur istri Abû Thalhah yang menggunakan istilah yang dipahami berbeda oleh pembicara dan mitranya.
Al-Qur’an juga memperkenalkan yang demikian. Salah satu contohnya adalah dalam QS. Saba’ [34]: 25, Kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan “dosa besar” yang telah kamu perbuat. Kami pun tidak mempertanggungjawabkan “apa yang kamu lakukan”. Dalam redaksi ini, “dosa besar”dipahami sebagaimana apa adanya oleh lawan bicara, tetapi yang dimaksud oleh pembicara adalah kekeliruan-kekeliruan kecil. Sedangkan “apa yang kamu lakukan” dipahami juga oleh lawan bicara dengan “dosa-dosa kecil”, tetapi maksudnya oleh pembicara adalah kekufuran, kedurhakaan, dan dosa-dosa besar.
Demikian pandangan pakar tafsir az-Zamakhsyari dan dikutip oleh al-Qasimi. Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkannya sesuai dengan penggarisan keyakinannya.
Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masîh, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al- Biqâ‘i dalam tafsirnya ketika menjelaskan QS. al-An‘âm [6]: 121, dari kitab ar-Raudhah.
Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Demikian, wallâhu a‘lam.