Assalamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakatuh
Salam Sejahtera buat kita semua,
Shalom, Om swastiastu…
Om shanti, shanti, shanti.. oom….
Hadirin sekalian
Saya tidak akan memposisikan apa yang saya akan sampaikan ini sebagai Pidato Pembuka dari saya, sebagaimana diposisikan oleh Penyelenggara Temu Muka ini, kendati saya menghadiri dan mengalami suasana Kebatinan yang mendahului serta menyertai Penandatanganan Piagam Persaudaraan Manusia itu.
Saya mengharap dapat menyampaikan sekelumit dari “Pidato Pembuka” yang disampaikan oleh kedua tokoh utama Penandatangan Piagam Abu Dhaby itu, yakni Grand Syekh Al Azhar Ahmad At Thayyib dan Paus Fransiskus. Pidato yang agaknya dapat membantu kita melangkah untuk membumikan Piagam itu.
Prof. Ahmad At-Thayyib dalam pidato sambutannya menyampaikan kepada hadirin benih lahirnya Piagam itu. Beliau berucap: “Saya diundang oleh sahabat dan saudara saya Franciskus ke rumahnya yang dipenuhi keramahtamahan untuk bersantap bersama, lalu salah seorang hadirin yang berusia relatif muda, mengajukan harapan dan ide tentang Persaudaraan se–Kemanusiaan. Hal tersebut disambut baik oleh Paus dan memperoleh juga dukungan kuat saya..
Kemudian – lanjut Grand Syekh Al-Azhar – “Setelah sekian kali dialog dan pengamatan terhadap situasi dan kondisi dunia kita, yang ditandai oleh penderitaan akibat pembunuhan, serta apa yang dialami oleh fakir miskin, para janda, anak-anak yatim serta mereka yang teraniya dan yang hidup dalam situasi ketakutan atau terpaksa mengungsi meninggalkan kampung halaman dan keluarga – setelah memerhatikan semua itu, maka lahirlah pertanyaan:”Apakah yang dapat dipersembahkan oleh agama-agama untuk menjadi pelampung demi keselamatan mereka?”
Grand Syekh Al-Azhar menyatakan juga dalam pidatonya itu bahwa: “Sungguh menakjubkan bahwa kerisauan saya menyangkut apa yang sedang terjadi di persada bumi kita amat sangat sesuai dengan kerisauan yang dirasakan oleh Paus dan kami berdua merasakan tugas yang besar yang harus dipertanggung jawabkan kelak di hadapan Tuhan. Sahabatku pun yang amat terhormat – Fransiskus – lanjut Ahmad At Thayyib – amat sangat kasih dan menderita akibat kesulitan yang dialami oleh seluruh manusia tanpa membedakan mereka dan tanpa catatan apapun”.
Apa yang dikemukakan oleh Grand Syekh Al-Azhar itu disambut oleh Paus Fransiskus dengan rendah hati sambil memulai pidatonya dengan ucapan “As-Salamu Alaikum”, yang merupakan redaksi salam yang diajarkan Islam. Lalu beliau menggaris bawahi dua hal yang berkaitan erat dengan tema Temu Muka kita ini yakni, “Membumikan Dokumen Persaudaraan Manusia Di Tengah Menguatnya Polarisasi Umat”
Menurut Paus, “Persaudaraan sekemanusiaan tercermin dengan jelas pada lambang pertemuan Abu Dhaby itu yakni Merpati dengan dua sayapnya terbang sambil meletakkan diparuhnya ranting Zaitun. Kedua sayap itu – masih menurut Paus mutlak diperlukan. Satu sayap melambangkan Keadilan dan yang satu lagi melambangkan Pendidikan”.
Hadirin sekalian. Jika ingin membumikan Piagam tersebut, maka camkanlah apa yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas yaitu:
Kesadaran akan tanggung jawab, serta upaya menyebarluaskan Kedamaian melalui penerapan Keadilan dan Pendidikan. Umat manusia dilukiskan sebagai berada dalam satu perahu yang bertingkat dua, kalau yang berada di tingkat pertama ingin memperoleh air dengan jalan melubangi perahu, maka perahu akan tenggelam. Adalah merupakan tugas mereka yang berada di tingkat dua perahu, untuk mencegah mereka siapapun yang bermaksud mengambil air dengan melubangi perahu, karena kalau tidak, semua akan tenggelam bersama perahu yang mereka tumpangi. Begitu ilustrasi Nabi Muhammad saw menyangkut umat manusia. Nah membumikan nilai-nilai Dokumen Piagam Persaudaraan Manusia itu, adalah cara menyelamatkan umat manusia yang harus dilakukan melalui apa yang dikemukakan oleh kedua tokoh penanda tangan Piagama itu, Paus dan Grand Syekh, yakni Kesadaran akan tanggung jawab serta Pendidikan dan Keadilan.
Hadirian sekalian, Memang menjelang penandatanganan Piagam Abu Dhaby itu, diadakan seminar yang dihadiri tokoh-tokoh berbagai agama – Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Yudaisme. Ketika itu terasa sekali dalam suasana dalam kebatinannya persaudaraan itu dan terasa juga pentingnya Kedamaian. Semua menegaskan bahwa Kedamaiaan bukan saja ajaran agama yang sangat esensial tetapi dambaan kemanusiaan karena yang tidak beragama pun mendambakan kedamaian ini.
Hadirin sekalian, dalam upaya membumikan nilai-nilai Piagam Kemanusiaan itu, kita perlu – sebelum membumikannya – menemukan dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang menghalangi atau menghambat pembumiannya.
Agaknya tidak keliru jika dikatakan bahwa paling tidak ada tiga sebab utama yang sangat berpotensi menghambat lahirnya Persaudaraan sekemausiaan. Pertama, Kesalahpahaman tentang ajaran agama, Kedua, Emosi Keagamaan yang berlebihan dan Ketiga, Peradaban umat manusia dewasa ini.
Kesalahpahaman tentang ajaran agama menjadikan sementara orang menduga bahwa Persaudaran Seagama bertentangan dengan Persaudaraan Sekemanusiaan. Padahal agama tidak mengajarkan demikian! Manusia adalah ciptaan Tuhan, Pencipta selalu mencintai ciptaannya: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah”, begitu dalam Yohanes 3:1
Rasul umat Muslim menegaskan bahwa “Al-Khalqu Kulluhum ‘Iyal Allah”, Semua makhluk/manusia adalah “anak-anak Tuhan” sebaik-baik mereka adalah yang sebaik-baik sikapnya terhadap “anak-anak Tuhan” ( H.R. At-Thabarany )
Tuhan menciptakan manusia bersumber dari seorang ayah dan seorang ibu, kemudian menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal. Begitu penegasan Kitab suci kaum muslimin ( Q.S. Al-Hujurat [49]:13). Dari titik tolak saling mengenal lahir pengakuan eksistensi dan kerja sama bahkan dari pengakuan itu lahir sikap saling menghormati walau harus diakui bahwa penghormatan tidak otomatis melahirkan persetujuan pendapat dan perbedaan tidak mutlak melahirkan pertentangan.
Kesalah-pahaman tentang ajaran agama mendorong seseorang menutup diri dan memutuskan hubungan dengan kenyataan, padahal kenyataan telah hadir bahkan memaksakan dirinya hadir kendati kita enggan!!
Hadirin sekalian. Tidak berguna lagi upaya menutup diri atau menghalangi apa yang sering dinamai “pihak lain” untuk berhubungan dengan kita. Yang dibutuhkan adalah bagaimana hubungan itu kita hadapi dan kelola sehingga tidak mencederai nilai-nilai agama, tidak juga menjadikan kita lupa bahwa kita bersaudara sekaligus berse-udara. Udara yang tercemar dampaknya menimpa kita semua.
Sungguh tidak sedikit ide dan pandangan masa lalu – kendati baik dan sesuai untuk masanya, tetapi tidak lagi sesuai dengan kondisi dan situasi masa kini. Sekian banyak juga pandangan masa lampau yang tertulis dalam aneka buku, yang masih dibaca dan dianggap benar oleh sebagian kita, atau paling tidak masih berbekas di bawah sadar sebagian kita kendati pandangan itu tidak sesuai lagi dengan kenyataan, bahkan tidak sesuai dengan pandangan agama walau agama diatas namakan atau ia diberi label agama.
Pakar-pakar Muslim yang objektif enggan menamai peperangan yang terjadi pada abad pertengahan dan sesudahnya – di mana Barat menyerbu ke Timur – enggan menamainya “Perang Salib”, karena “Salib tidak mengajarkan yang demikian dan dibalik motivasi perang yang dinyatakan ada motivasi lain yang berupaya disembunyikan. Dalam kitab-kitab kuning yang sebagian masih diajarkan di sekian Lembaga Pendidikan Islam, masih tercantum ungkapan- ungkapan bahkan secara keliru dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw yang kandungannya tidak sejalan dengan tuntunan Islam. Salah satu upaya untuk Membumikan Dokumen Persaudaraan manusia, adalah memurnikan agama serta memberi interpretasi baru untuk teks-teks keagamaan – interpretasi yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar Keagaman yang baku dan tidak boleh mengalami perubahan, atau apa yang diistilahkan dalam ajaran Islam dengan Ushul Ad-Din.
Kesalahpahaman tentang ajaran agama menjadikan sementara orang mengira bahwa paham Kebangsaan yang menetapkan hak dan kewajiban -yang sama dalam kewarganegaraan- mengira bahwa itu bertentangan dengan ajaran agama. Padahal sejak dahulu ajaran Islam telah menetapkan dalam konteks kewarganegaraan bahwa semua pihak sama, bahkan tidak ada lagi mayoritas dan minoritas karena semua telah lebur dalam wadah Kebangsaan.
Kesalahpahaman tentang ajaran agama menjadikan sementara orang enggan membantu yang berbeda agama dengannya, bahkan melarang walau menyampaikan ucapan basa basi padahal jangankan ucapan, memberi bantuan kepada yang berbeda agamapun dibenarkan oleh semua agama termasuk Islam – selama yang bersangkutan tidak memerangi agama atau mengusir dari tumpah darah. Begitu penegasan Kitab suci Al-Qur’an (Q.S. Al-Mumtahanah [60]:8). Al-Quran juga menyatakan bahwa “Izin Tuhan untuk melakukan pembelaan diri terhadap penganiyaan bertujuan mencegah runtuhnya gereja gereja, biara-biara, sinagog-sinagog dan masjid-masjid yang merupakan tempat-tempat yang banyak digunakan untuk menyebut-nyebut nama Allah”. (Q.S. Al-Haj [22]:40).
Di sinilah pentingnya Pendidikan sebagaimana yang dikemukan oleh Paus dan didukung Grand Syekh Al-Azhar. Kedua lembaga yang dipimpin oleh kedua tokoh ini telah mempersembahkan pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada tuntutan masa kini tanpa mengorbankan agama; Keputusan-keputusan yang dicetuskan oleh Konsili Vatikan ke II merupakan landasan utama bagi umat Kristiani dalam menengok keluar dan menjalin hubungan harmonis dengan semua pihak. Sosok Paus yang sangat rendah hati dan pemikiran- pemikiran cemerlang beliau sangat mendukung terjalinnya hubungan harmonis antar sesama manusia. Demikian juga di dunia Islam, terutama melalui fikiran-fikiran ulama – ulama Al-Azhar yang dari saat ke saat mengemukakan fatwa dan ide-ide yang menjadi landasan bagi terjalinnya dengan lebih kuat lagi Persaudaraan Sekemanusiaan. “Dunia Timur – baik agama yang dianut maupun Peradaban yang tercipta – tidak memiliki kesulitan dalam berdialog dengan Dunia Barat, baik Barat dalam organisasi-organisasi Keagamaannya maupun Barat dengan Peradaban Ilmiahnya”. Begitu penegasan Grand Syekh Al-Azhar Ahmad At-Thayyib.
Selanjutnya Penyebab Kedua adalah Emosi Keagamaan yang melampaui batas. Hal ini tidak jarang mengundang yang berpengetahuan sekalipun, bersikap tidak adil atau mengucapkan kalimat-kalimat yang justru bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Ini terjadi di belahan dunia Timur maupun Barat tidak terkecuali di tanah air kita Indonesia. Emosi tersebut harus dapat diarahkan sehingga lahir cinta yang merupakan inti ajaran agama-agama. Ihsan dalam bahasa Agama Islam dalam konteks hubungan manusia adalah memandang orang lain adalah diri Anda. Dengan cinta kita dapat berhubungan harmonis bahkan menyatu walau kita berbeda agama atau pikiran, karena itu ketika akal manusia mendiskusikan tentang wuiud Tuhan, akal berselisih tetapi pengamal-pengamal agama yang mendasari pengamalan agamanya dengan cinta bertemu dan bergandengan tangan.
Syankara Filosof India kenamaan itu menulis bahwa “Bisa saja yang mendasarkan pengamalan agamanya dengan cinta bisa saja mereka menyembah Tuhan di manapun dan siapapun”.
Apakah itu benar atau salah? Dapat diduga keras bahwa yang mengandalkan akal saja apalagi hukum syariat yang prinsipnya adalah menetapkan hukum berdasarkan kenyataan emperis – dapat diduga keras mereka akan nyatakan: “Itu salah bahkan sesat” tetapi mereka yang menggabung hati dengan akal tidak akan tergesa bersikap demikian, mereka akan mencari dan menemukan alasan pembenarannya.
Sekali lagi kalbu mempunyai logika yang berbeda dengan logika akal namun demikian akal dan kalbu dapat bekerjasama demi cinta. Itu dapat diwujudkan kalau kita menganut agama Cinta.
Hati yang dipenuhi cinta, tidak akan melahirkan kecuali buah cinta – bukankah yang keluar dari satu wadah hanyalah isinya? Lidahnya menuturkan cinta, aktivitasnya mencerminkan cinta dan perlakuannya kepada siapapun adalah eksperesi cinta. Cintanya kepada Allah mengantarnya mencintai makhluk-makhluk-Nya apapun dan siapapun karena semua – adalah “‘Iyal Allah”: Anak-anak dan keluarga Allah yang butuh” sebagaimana dikemukakan sebelum ini sehingga semua memperoleh cintanya walau yang berdosa karena kebenciannya tidak tertuju kepada manusia yang merupakan ciptaan Allah tetapi tertuju kepada kedurhakaan yang dilakukannya, dan karena dia memandang rahasia Tuhan terbentang dalam takdir-Nya .
“Aku sebelum ini menolak temanku
Karena agamaku tidak dekat dengan agamanya
Tapi kini, hatiku dapat menampung aneka bentuk
Ia arena penggembalaan kijang juga biara para pendeta
Ia rumah aneka berhala serta Ka’bah bagi yang Thawaf
Juga lembaran –lembaran Taurat dan Mushaf Al-Qur’an,
Aku menganut agama cinta, kemanapun ia mengarah
Cinta adalah agamaku dan dia adalah imanku”
Demikian shufi besar Ibnu Al- ‘Araby
Hal ketiga yang menjadi hambatan Pembumian Nilai-nilai Piagam Abu Dhaby itu adalah Peradaban umat Manusia Dewasa ini.
Harus diakui bahwa Peradaban itu telah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi Kemanusiaan dalam bidang material, tetapi dalam saat yang sama harus juga diakui bahwa Peradaban itu pincang karena mengabaikan sisi ruhaniyyah manusia. Peradaban kita Tidak adil. Dari sini Paus menekankan sayap Keadilan, dan dari sini juga terbaca dalam butir-butir Piagam itu aneka hal yang perlu diseimbangkan.
Adil adalah: “Keseimbangan”. Perhatian Peradaban dewasa ini terhadap alam dan manusia tidak seimbang. Sisi fisik material terlalu menonjol. Salah satu buktinya tulis Alexis Carrel dalam bukunya “Man, The Unknown” adalah jumlah rumah-rumah sakit yang dibina untuk mengobati fisik manusia – dan anggaran yang disediakan untuk itu – jauh lebih banyak daripada rumah sakit yang disiapkan untuk mengobati psikis dan jiwa manusia, – padahal tulisnya – jumlah mereka yang menderita dari segi kejiwaan jauh lebih banyak.
Adil juga bermakna “Menempatkan segala sesutu pada tempatnya”. Saudara! Apakah sudah pada tempatnya kita menyiapkan makanan sedemikian banyak sampai tersisa lalu sisanya ditempatkan di tong sampah padahal sekian banyak manusia di sekeliling kita membutuhkan sesuap dari apa yang dibuang itu? Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia (FAO), sisa makanan yang terbuang di Eropa dalam setahun dapat memenuhi kebutuhan pangan 200 juta manusia. Di Amerika Latin mencukupi 300 juta bahkan kalau seperempat saja dari sisa makanan yang terbuang di persada bumi – tidak terbuang – maka itu dapat cukup memberi makan 870 juta manusia. Di manakah Keadilan? Di manakah Persaudaraan Se-Kemanusiaan. Bukankah sikap ini menimbulkan kecemburuan kalau enggan berkata dendam sosial?
Adil juga bermakna, “Memberi setiap orang haknya dengan cara yang benar dan dengan secepat mungkin”. Apakah adil memperlakukan seorang warga dalam sebuah negara dengan perlakukan berbeda dengan warga yang lain dalam negara itu, hanya karena agama, suku, jenis kelamin atau pandangan politiknya? Itu tidak adil!
Keadilan juga disimpulkan dengan Moderasi. Nah apakah ekstrimisme dan teror cerminan dari moderasi atau Keadilan?
Saudara! Kalau kita tidak dapat memberi, maka jangan ambil hak orang lain dan jangan halangi orang lain memberi. Kalau tidak dapat atau enggan membantu, maka jangan menjerumuskan, kalau enggan memuji maka janganlah mencela. Ini batas minimal dalam mewujudkan Keadilan. Sayang, itupun tidak mewujud dalam sekian tempat di dunia kita.
Butir-butir yang dikandung oleh Piagam Kemanusiaan itu pada hakikatnya terinspirasi dari ajaran agama-agama dan budaya positif masyarakat manusia. Sayang, karena sering terabaikan maka ia sering diingkari sebagai ajaran agama atau budaya positif masyarakat. Memang kata orang bijak “Sesuatu yang baik tetapi jarang dilakukan, maka ia – secara sosiologis – dapat diduga buruk, sebaliknya sesuatu yang buruk jika sudah sering dilakukan maka ia dapat diterima bahkan dianggap baik”. Sungguh ironis!!!.
Hadirin sekalian! Kita dan Peradaban kita sakit, penyakitnya pada diri kita tapi kita tidak sadari. Obatnya pun ada di tangan kita tetapi kita tidak peduli. Sebagai bangsa kita memiliki titik temu yang merupakan obat yang ampuh. Itu tercermin dalam sila-sila Pancasila – sayang, akhir-akhir ini ia belum terasa membumi.
Agamawan pun menegaskan bahwa Kemanusiaan mendahului Keberagamaan. Bila Anda membutuhkan air untuk berwudhu, lalu ada seekor anjing yang kehausan yang membutuhkan air itu, maka berilah minum anjing itu karena Kemanusiaan harus didahulukan atas Keberagamaan. Itu terhadap binatang apalagi terhadap sesama manusia.
Saudara! Dalam konteks membumikan nilai-nilai kebaikan, peranan penguasa dapat lebih besar daripada penganjur agama, karena penguasa memiliki wewenang dan kekuatan sedang penganjur agama hanya memiliki lidah atau pena untuk menegur.
Akhirnya kita berdoa semoga tokoh-tokoh bangsa yang telah mendahului kita dan berjuang untuk Kemanusiaan – seperti halnya Gus Dur dan Cak Nur – semoga mereka mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi Tuhan dan semoga semakin banyak tokoh-tokoh semacam Buya Syafi’ Ma’arif yang bersuara nyaring dalam menyerukan Kebaikan dan Kemanusiaan. Demikian dan Terima kasih.
*Pidato disampaikan oleh Prof. M. Quraish Shihab, MA dalam Acara Forum Titik Temu dengan tema : “Kerja Sama Multikultural untuk Persatuan dan Keadilan” pada Rabu, 18 September 2019 di Double Tree Hilton Jakarta