Selanjutnya, bila kecerdasan-kecerdasan di atas terhimpun pada diri seseorang, maka ia secara sadar akan berkata ‘Saya tidak tahu’ menyangkut hal yang tidak diketahuinya karena kecerdasan―seperti yang penulis kemukakan di atas―tidak selalu dihadapkan dengan ketidaktahuan. Karena itu, seorang yang berkata ‘Saya tidak tahu’ menyangkut hal-hal yang berada di luar kemampuannya justru lebih cerdas daripada yang mengaku tahu padahal sebenarnya ia tidak tahu, apalagi tidak mampu tahu. Sayyidina Abubakar ra. pernah ditanyai tentang hakikat ketuhanan.
Si penanya berkata:
بم عرفت ريّك “Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?”
Beliau menjawab:
عرفت ربي بربي : “Aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku.”
Lalu si penanya melanjutkan:
و كيف عرفته “Bagaimana engkau mengenalnya ?”
Abubakar ra. menjawab:
العجز عن الإدراك إدراك Maksud beliau: “(Kesadaran tentang) Ketidakmampuan menjangkau sesuatu―yang memang tidak terjangkau―itulah keterjangkauan.”
Kepada Imam Malik pernah diajukankan 48 pertanyaan, hanya dua belas diantaranya yang beliau jawab, sisanya beliau katakan, “Aku tak tahu.“ Pernah seorang bertanya kepada Imam Syafi’i dan mengulang-ulangi pertanyaannya, namun tidak juga dijawab oleh beliau. Si penanya berkata: “Ucapkanlah sesuatu, baik menjawab pertanyaanku maupun tidak.“ Akhirnya, Imam itu berkata: “Aku sebenarnya sedang berpikir yang mana yang lebih baik kutempuh, diam atau menjawab pertanyaanmu.” Demikian kecerdasan yang tampak dari mereka, bukan hanya ketika mereka menjawab, tetapi juga ketika mereka diam. Itulah sebabnya dalam tradisi keilmuan ulama, jawaban “Aku tidak tahu“ atau Allâh A’lam (Allah yang Maha Mengetahui) merupakan hiasan bibir dan karya-karya ilmiah mereka.
Dengan aneka kecerdasan di atas, seseorang akan menyandang pakaian ruhani. Dengan pakaian ruhani terpelihara identitasnya lagi anggun penampilannya, Anda akan menemukan ia selalu bersih walau miskin, hidup sederhana walau kaya, terbuka tangan dan hatinya, tidak berjalan membawa fitnah, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak menuntut yang bukan haknya, dan tidak menahan hak orang lain. Bila beruntung, ia bersyukur. Bila diuji, ia bersabar. Bila berdosa, ia istighfar. Bila bersalah, ia menyesal. Dan bila dimaki, ia tersenyum.
Demikian, wa Allâh A’lam.