Kata jihad cukup populer di dunia Islam temasuk di Indonesia, bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa jihad merupakan salah satu prinsip dasar ajaran Islam. Sayang, kata ini sering kali dikerdilkan maknanya atau dan digunakan bukan pada tempatnya.
Kata jihad terambil dari Bahasa Arab: jahd, yang pada mulanya berarti kesulitan/kesukaran atau juhud, yakni kemampuan. Kedua makna tersebut mengisyaratkan bahwa jihad yang sebenarnya tidaklah mudah, tetapi dapat menjadikan sang mujahid berhadapan dengan aneka kesulitan dan kesukaran. Sang Mujahid juga dituntut untuk tidak berhenti sebelum kemampuannya berakhir atau cita-citanya terpenuhi. Itu sebabnya dalam perjuangan merebut kemerdekaan, para mujahid/pejuang bangsa kita berpekik, “Merdeka atau mati.”
Merujuk pada sumber-sumber ajaran Islam―al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.―ditemukan aneka ragam jihad bermula dari jihad dengan hati untuk melahirkan/mengukuhkan tekad, dengan lidah untuk menjelaskan dan membuktikan kebenaran, dengan tenaga, dengan harta, sampai dengan nyawa, demi tegaknya nilai-nilai ajaran Islam:
من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
“Siapa yang berjuang demi tegaknya kalimat Allah, maka dia telah menelusuri sabilillah/jalan Allah.”
Demikian sabda Nabi saw. Jadi, tujuannya bukan menumpahkan darah, apalagi membunuh, tetapi meninggikan nilai-nilai agama Allah. Perlu dicatat bahwa salah satu dari ajaran agama Allah adalah memberi kebebasan kepada setiap penganut agama/kepercayaan untuk melaksanakan tuntunan agama/kepercayaan mereka―walau tuntunan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Itu yang ditegaskan oleh firman Allah yang pada mulanya ditujukan kepada para kaum musyrik penyembah berhala, “Lakum dînukum wa liya dîn.” Memang jika mereka menghalangi kaum Muslimin untuk melaksanakan tuntunan agama, maka sikap mereka harus dihadapi dengan cara apa pun walau sampai tingkat pertempuran.
Atas dasar yang dikemukakan di atas adalah sangat keliru membatasi makna jihad hanya pada peperangan bersenjata. Bukankah Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk berjihad dengan menggunakan al-Qur’an ketika beliau masih di Mekkah―dimana kekuatan bersenjata ketika itu belum beliau miliki? Allah berfirman:
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًاكَبِيرًا
Janganlah patuh kepada orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengan al-Qur’an jihad yang besar (QS. al-Furqân [25]: 52).
Jihad yang dimaksud di sini pasti bukan penggunaan kekerasan, tetapi ia adalah berusaha dengan semua kemampuan membulatkan tekad menghadapi kesulitan serta upaya menjelaskan nilai-nilai agama kepada mereka yang menentangnya.
Bukankah Allah memerintahkan Nabi saw. untuk berjihad menghadapi orang-orang musyrik dan munafik?
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Wahai Muhammad, berjuanglah melawan orang-orang kafir yang menyatakan kekafirannya dan orang-orang munafik yang menyembunyikan hakikat mereka dengan segala kekuatan dan bukti yang kamu miliki. Bersikap keraslah dalam berjuang melawan kedua kelompok tersebut. Tempat tinggal mereka adalah Jahannam. Seburuk-buruk tempat kembali adalah tempat mereka. (QS. at-Tahrîm [66]: 9)
Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang munafik dan bersikap tegaslah terhadap mereka! Tempat mereka kelak di Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali (QS. at-Tahrîm [66]: 9 dan at-Taubah [9]: 73).
Sejarah menjelaskan bahwa tidak seorang munafik pun yang beliau hukum mati―walau pelanggaran beratnya telah berulang kali seperti halnya pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika Sayyidina Umar mengusulkan kepada Nabi saw. agar yang bersangkutan dihukum mati, beliau bersabda: “Nanti orang akan berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” Jika demikian, arti jihad pada ayat di atas pun bukanlah penggunaan senjata/pertempuran.
Bukankah sangat populer riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda ketika kembali dari Perang Tabuk bahwa: “Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar?” Di sisi lain diriwayatkan bahwa istri Nabi saw., as-Sayyidah ‘Aisyah pernah bertanya kepada Nabi saw., “Apakah wanita wajib juga berjihad?” Nabi memberi salah satu contoh dari jihad perempuan dengan bersabda: “Jihad mereka Haji dan Umrah.” “Apakah ada jihad tanpa peperangan?” Nabi menegaskan: “Ya. Ada jihad tanpa pertempuran.”
Hal lain yang menunjukkan bahwa jihad bukanlah bertujuan dasar membunuh atau melakukan kekerasan adalah bahwa Nabi saw. dalam aneka pertempuran selalu menawarkan kepada lawan―sebelum bertempur tiga alternatif: a) Memeluk Islam atau b) Tetap memeluk agama/kepercayaan mereka, tapi menjadi penduduk yang baik dengan membayar jizyah (pajak sebagai imbalan pembelaan terhadap mereka serta penggunaan mereka terhadap fasilitas umum), atau c) Ditindak/diperangi jika mereka menolak kedua tawaran tersebut. Penindakan itu pun tidak otomatis berarti pembunuhan.